13 Maret, 2008

AKIBAT HUKUM DARI JANJI-JANJI PRA-KONTRAK

I. Pendahuluan

Keberadaan “Perjanjian” atau sering pula disebut dengan istilah ”kontrak” pada masa sekarang ini sangat dibutuhkan masyarakat. Pada dasarnya kontrak adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak secara tertulis.

Fungsi kontrak, terutama dalam dunia bisnis, adalah untuk melindungi kepentingan para pihak dalam rangka mengatur hak dan kewajiban, sehingga tercipta kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Lazimnya dalam dunia bisnis, perjanjian dibuat secara tertulis, yakni dengan pembuatan kontrak. Sebelum memasuki kontrak, para pihak biasanya memasuki tahap pra-kontak, yakni tahap dimana para pihak mempunyai suatu kesepahaman awal untuk memasuki suatu kontrak.

Pada tahap pra-kontak, sering timbul masalah ketika sebelum perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan “preliminary negosiation”, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum, misalnya meminjam uang, membeli tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak bisnis yang dirundingkan. Hal tersebut dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya dan menaruh harapan terhadap janji-janji yang diberikan oleh pihak yang lain. Apakah tindakan salah satu pihak guna pemenuhan prestasi terhadap janji-janji pra-kontrak tersebut dapat dimintakan ganti kerugian, karena tidak tercapainya kesepakatan mengenai fees, royalties atau jangka waktu lisensi?

Dari gambaran singkat tersebut di atas, timbul permasalahan hukum sebagai berikut:

1. Apakah janji-janji pra-kontrak mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana kontrak itu sendiri?
2. Apababila sebelum terjadi kesepakatan final, salah satu pihak telah melakukan suatu perbuatan hukum terkait dengan obyek perundingan, namun pada akhirnya perundingan tersebut mengalami jalan buntu, apakah pihak tersebut dapat menuntut ganti kerugian atas segala biaya yang telah dikeluarkannya kepada pihak yang lain?

3. Apabila dapat dimintakan ganti kerugian apakah dasar gugatannya untuk dapat menuntut ganti kerugian tersebut?

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka selanjutnya akan dibahas mengenai permasalahan tersebut sebagai berikut:

II. Kontrak Berdasarkan Hukum Indonesia

Pengertian Kontrak dan Syarat Sahnya Kontrak

Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi sebagai berikut:

”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan satu pihak atau lebih mengikatkan diri dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Pasal 1313 KUHPer terdapat ketidakjelasan definisi karena setiap perbuatan dapat dikatakan sebagai perjanjian dan tidak jelas mengenai asas konsensualisme dalam definisi tersebut.[1]

Untuk lebih memperjelas definisi perjanjian, maka harus dicari dalam doktrin, yakni sebagai berikut:

”Perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.[2]

Berdasarkan KUHPer, terminologi kontrak sendiri tidak dapat ditemukan. Kontrak pada dasarnya adalah perjanjian itu sendiri akan tetapi lebih bersifat sempit karena pengertian kontrak ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.[3]

Black’s Law Dictionary, memberi pengertian tentang kontrak, yakni:
”contract is an agreement between two or more person which creates an oblligation to do or not to do particular thing”[4].

Untuk syarat sahnya perjanjian harus dipenuhi oleh para pihak dalam Pasal 1320 KUHPer, yang berbunyi sebagai berikut:

”Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. suatu hal tertentu;
4.suatu sebab yang halal”.

Asas Konsensualisme Dalam Perjanjian

Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga dengan asas otonomi ”konsensualisme” yang menentukan adanya (raison d etre, het bestaanwaarde) perjanjian.[5]

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, dalam Pasal 1320 KUHPer menimbulkan adanya asas konsensualisme, yakni bahwa pada prinsipnya perjanjian timbul atau dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.

Dalam Pasal 1320 KUHPer, terdapat hal yang paling mendasar yakni mengenai “asas konsensualisme”, yang berarti bahwa pada dasarnya perjanjian atau perikatan yang timbul karenanya sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.[6]

Asas konsensualisme selain terdapat dalam Pasal 1338 KUHPer, juga terdapat dalam Pasal 1338 KUHPer, yang berbunyi sebagai berikut:

”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Pasal 1338 KUHPer sering disebut juga dengan asas pacta sunt servanda, yakni janji itu mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas konsualisme ini menimbulkan kemauan para pihak untuk saling mengikatkan diri dan yang kemudian membangkitkan rasa kepercayaan bahwa perjanjian itu terpenuhi. Menurut Egens, asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral, dimana moral manusia yang terhormat akan memelihara janjinya.[7]

Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kata sepakat diantara para pihak yang membuatnya.

III. Janji-janji Pra-kontrak

Pada dasarnya ada 3 (tiga) tahap dalam membuat kontak, yakni sebagai berikut:
1. tahap pra-kontak;
2. tahap kontraktual;
3. tahap post-kontrak.[8]

Tahap Pra-Kontrak

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, sebelum kontrak ditandatangani, biasanya para pihak melewati proses negosiasi, yaitu proses pencocokan penawaran masing-masing pihak. Proses ini sering disebut sebagai tahap pra-kontrak. Dalam praktek, tahapan pra-kontrak sering dituangkan dalam bentuk MoU atau LoI, yang dibuat sebagai perwujudan dari kesepahaman, itikad atau niat para pihak sebelum memasuki tahap kontraktual. MoU adalah kesepahaman akan suatu hal tertentu antara para pihak untuk kemudian dinegosiasikan lagi melalui proses perundingan sampai terjadi kesepakatan mengenai hal-hal yang spesifik dalam mengatur bagaimana para pihak melaksanakan hak dan kewajibannya, dimana hal tersebut akan dituangkan dalam kontrak.

Contohnya:
Dalam proses pembuatan kontrak lisensi, pada saat pra-kontrak yang dituangkan dalam MoU hanya diatur kesepahaman akan adanya itikad baik para pihak untuk nantinya dapat ditindaklanjuti dengan sebuah kontrak lisensi. Akan tetapi apabila ternyata pada waktu perundingan mengalami jalan buntu dan tidak terjadi kesepakatan mengenai fees tersebut ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka akan dibahas dalam 2 (dua) prespektif hukum yang berbeda mengenai janji-janji kontrak, yakni sebagai berikut:

Janji-janji Pra-Kontrak

१ Menurut Teori Hukum Kontrak Modern.

Menurut teori hukum modern, atas contoh pada proses pembuatan kontrak lisensi di atas, pada teori kontrak hukum modern cenderung untuk menghapuskan syarat-syarat formal bagi kepastian hukum dan lebih menekankan pada keadilan.[9]

Konsekuensinya apabila salah satu pihak mengundurkan diri dari perundingan tanpa alasan yang patut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pihak lain, maka pihak lain yang sudah mengeluarkan biaya atau menanamkan modal karena percaya dan menaruh harapan terhadap janji-janji yang telah diberikan dalam proses perundingan berhak untuk menuntut ganti kerugian yang dideritanya atas perbuatan salah satu pihak tersebut.

Di negara-negara maju yang menganut civil law sistem, seperti Perancis, Belanda, Jerman, pengadilan memberlakukan asas itikad baik bukan hanya dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak tetapi juga dalam tahap perundingan (the duty of good faith in negotiation), sehingga janji-janji pra-kontrak mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika janji tersebut diingkari.

Contoh kasus yang terjadi di Belanda, pengadilan telah mengakui adanya itikad baik pada saat pra-kontrak, hal ini tercermin dalam Arress Hoge Raad tanggal 18 Juni 1982, NJ 1983, 723. Pada akhir tahun 1974 Plas memasukkan penawaran untuk melakukan pemborongan di kotamadya Valrug dan dalam suatu rapat walikota mengatakan bahwa penawaran Plas dapat diterima oleh kotamadya Valbrug dan dalam suatu rapat, namun harus diputuskan melalui rapat Dewan Kotamadya. Akan tetapi dalam rapat Dewan Kotamdya, ternyata yang diterima adalah penawaran dari pemborongan yang lain. Gugatan Plas dimenangkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, ganti kerugian yang diberikan hanya biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Plas atas dasar bahwa itikad baik sudah ada pada tahap pra-kontrak. Karena belum ada kontrak, maka Plas tidak dapat menuntut kehilangan keuntungan yang diharapkan. Akan tetapi, Hoge Raad berpendirian bahwa suatu perundingan yang sudah mencapai tingkat yang hampir final, maka dapat juga diajukan gugatan atas kehilangan keuntungan yang diharapkan. [10]

२ Menurut Teori Hukum Kontrak Klasik.

Sebaliknya dari teori hukum kontrak modern, teori hukum kontrak klasik lebih mementingkan syarat-syarat formal dari pada keadilan.

Hukum Indonesia tidak mengakui adanya itikad baik dalam proses negosiasi, berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Akan tetapi Pasal 1338 ayat (3) KUHPer menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

Contoh yurisprudensi yang ada di Indonesia adalah dalam kasus N.V Aniem melawan Said Wachidin, Pengadilan Negeri Tinggi Surabaya dalam Putusan No. 235/1953 Pdt, tanggal 13 Agustus 1985 memutuskan bahwa N.V Aniem, suatu perusahaan yang menyediakan aliran listrik untuk gedung bioskop milik Said Wachidin, meskipun Said Wachidin sudah membayar biaya pemasangan instalasi listrik. Perjanjian antara N.V.Aniem dan Said Wachidin belum memenuhi syarat hal tertentu, karena mereka belum sepakat berapa kilowat listrik yang harus disalurkan oleh N.V Aniem.

Bahwa pertimbangan hukum tersebut di atas, yang menyatakan bahwa N.V Aniem tidak wajib menyalurkan listrik kepada gedung boiskop milik Said Wachidin, merupakan hal yang masuk akal, akan tetapi yang menjadi permasalahan kemudian dapatkah Said Wachidin menuntut ganti kerugian atas biaya pemasangan instalasi listrik yang telah dikeluarkannya atau meminta ganti atas kehilangan keuntungan yang diharapkan (expectation loss)?. Menurut Said Wachidin dia telah menderita kerugian berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan sejak tanggal 21 Februari 1952, pada saat mana tergugat seharusnya memasok listrik kepada penggugat sampai tanggal 16 Mei 1952 dimana penggugat harus mengusahakan sendiri aliran listrik untuk gedung bioskopnya. Akan tetapi gugatan wanprestasi Said Wachidin tersebut sendiri telah ditolak oleh Pengadilan Tinggi, disamping itu pengadilan juga tidak mengabulkan kerugian nyata yakni terhadap pembayaran instalasi listrik yang telah dikeluarkan oleh Said Wachidin.

Berdasarkan contoh kasus di atas, N.V Aniem dan Said Wachidin memang tidak dapat dikabulkan, mengingat belum terjadi huhungan kontraktual antara mereka, sehingga gugatan atas kehilangan keuntungan yang diharapkan memang tidak dapat dikabulkan, tetapi ganti rugi atas kerugian nyata masih mungkin untuk dipertimbangkan, akan tetapi berdasarkan gugatan melawan hukum, bukan wanprestasi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum ada kesepakatan final dari para pihak, maka belum ada kekuatan mengikat bagi para pihak, sehingga janji-janji pra-kontrak tidak mengikat para pihak sebagai kontrak itu sendiri.

Lebih lanjut, apabila pada saat belum ada kesepakatan final, salah satu pihak telah melakukan suatu perbuatan hukum terkait dengan obyek perundingan, namun pada akhirnya perundingan tersebut mengalami jalan buntu, maka di negara yang menganut teori hukum kontrak modern pihak tersebut dapat meminta menuntut ganti kerugian atas dasar wanprestasi salah satu pihak atas segala biaya yang telah dikeluarkannya kepada pihak yang lain, termasuk atas kerugian atas keuntungan yang diharapkan, karena dalam negara yang menganut hukum kontrak modern ini, itikad baik sudah terlindungi pada tahap pra-kontrak. Sebaliknya negara yang menganut teori hukum klasik, termasuk Indonesia, itikad baik tidaklah terlindungi pada tahap pra-kontrak, sehingga penututan ganti kerugian dengan dasar wanprestasi pada dasarnya tidak dapat dikabulkan.

IV. Apakah yang Dapat Dilakukan Untuk Menuntut Ganti Kerugian Apabila Gugatan Wanprestasi Pada Dasarnya Tidak Dapat Dikabulkan

Contoh yurisprudensi yang ada di Indonesia adalah dalam kasus N.V Aniem melawan Said Wachidin, bahwa berdasarkan kasus tersebut dapatkah Said Wachidin menuntut ganti kerugian atas biaya pemasangan instalasi listrik yang telah dikeluarkannya atau meminta ganti atas kehilangan keuntungan yang diharapkan (expectation loss)?

Berdasarkan contoh kasus di atas, N.V Aniem dan Said Wachidin di atas, menurut hukum Indonesia, tuntutan ganti kerugian atas gugatan wanprestasi memang tidak dapat dikabulkan, mengingat belum terjadi huhungan kontraktual antara mereka, sehingga gugatan atas kehilangan keuntungan yang diharapkan memang tidak dapat dikabulkan. Akan tetapi ganti rugi atas kerugian nyata masih mungkin untuk dipertimbangkan, akan tetapi berdasarkan gugatan melawan hukum, bukan wanprestasi.

Ganti kerugian atas kerugian nyata yang masih mungkin untuk dipertimbangkan adalah berdasarkan gugatan melawan hukum, bukan wanprestasi, mengingat karena memang belum terjadi kontrak antar para pihak, maka tidaklah mungkin apabila terjadi wanprestasi antar para pihak. Sedangkan gugatan perbuatan melawan hukum sangat dimungkinkan mengingat unsur-unsur Pasal 1365 KUHPer telah terpenuhi dari kasus N.V Aniem dan Said Wachidin. Bunyi Pasal 1365 KUHPer tersebut adalah sebagai berikut:

“Setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

Lebih lanjut perbuatan melanggar hukum tersebut dalam perkembangannya tidak hanya perbuatan melawan hukum dalam arti sempit yaitu perbuatan melanggar undang-undang saja, akan tetapi kemudian diperluas menjadi perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.

Dalam kasus, N.V Aniem dan Said Wachidin tersebut, dapat dikatakan bahwa atas segala hal yang telah dikeluarkan oleh salah satu pihak pada saat pra-kontrak dapat dituntut kepada pihak yang lain apabila ternyata tidak tercapai kata sepakat dalam kontrak dalam bentuk ganti rugi yang nyata, akan tetapi berdasarkan gugatan melawan hukum, dengan pertimbangan bahwa N.Aniem telah menyebabkan kerugian kepada Said Wachidin karena telah membayar biaya pemasangan listrik.

Sehingga akibat hukum dari pra-kontrak tidaklah mengikat para pihak karena pra-kontrak sendiri tidaklah dianggap sebagai kontrak, akan tetapi ganti kerugian atas salah satu pihak yang timbul karena pra-kontrak tersebut dapat dimintakan ganti kerugian dengan mengajukan gugatan dengan dasar gugatan melawan hukum.

V. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa belum ada suatu kesatuan pendapat perihal akibat hukum dari janji-janji pra-kontrak. Menurut doktrin hukum klasik yang lebih mementingkan kepastian hukum, keberadaan janji-janji pra kontrak belum mengikat para pihak, sehingga prinsip itikad baik hanya dapat diterapkan jika syarat sahnya perjanjian telah terpenuhi. Sebaliknya, teori hukum perjanjian modern cenderung mengutamakan kebenaran substansial demi tercapainya keadilan, sehingga lebih mengabaikan syarat-syarat formal sahnya suatu perjanjian.

Hukum Indonesia, sebagaimana tercermin dari putusan-putusan Hakim Pengadilan Indonesia, cenderung menerapkan teori hukum klasik yang lebih mengutamakan formalitas demi tercapainya kepastian hukum. Dasar pertimbangan utamanya, bahwa pra-kontrak adalah bukan sebagai kontrak itu sendiri, sehingga janji-janji pra-kontrak tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai kontrak bagi para pihak. Oleh karena itu, tuntutan ganti rugi terkait perkara-perkara pra-kontrak diajukan ke pengadilan berdasarkan gugatan perbuatan melawan hukum, bukan wanprestasi.

---

[1] Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Inominaat di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 15
[2] Ibid, hlm 15
[3] Subekti, Op. Cit, hlm 1
[4] Black’s Law Dictionary, 1979, hlm 291
[5] Mariam Darus, at all, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hlm 83
[6] Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta: Penerbit PT Intermasa, 2002, hlm. 15
[7] Ibid, hlm 83
[8] Ibid, hlm 16.
[9] Suharnoko,Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Penerbit Prenada Media, 2004, hlm. 3
[10] Suharnoko, Op. Cit, hlm 7

2 komentar:

Anonim mengatakan...

yup, setuju banget mas...

kusumawardhani mengatakan...

just drop by n to say 'hellow there' ;)